Rabu, 28 April 2010
Komunikasi Politik ala Muhammadiyah
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas
Satria Makassar)
Gaya kepemimpinan dan gaya komunikasi
politik para ketua umum Muhammadiyah saya sebut unik, karena selalu terpengaruh
oleh situasi dan kondisi, serta banyak dipengaruhi oleh latar belakang pribadi
masing-masing ketua umumnya. Inilah gaya komunikasi politik ala Muhammadiyah
Muhammadiyah identik dengan Din
Syamsuddin, Syafii Maarif, Amien Rais, KH AR Fachruddin, dan KH Ahmad Dahlan.
Mereka identik dengan Muhammadiyah karena mereka adalah orang yang sedang atau
pernah menjabat ketua umum organisasi Islam terbesar di Indonesia itu.
Pimpinan tertinggi sebuah organisasi
merupakan simbol. Mereka memersonifikasi keberhasilan atau kegagalan organisasi
yang dipimpinnya. Maka sangat tidak mudah menjadi pimpinan tertinggi sebuah
organisasi, apalagi organisasi besar seperti Muhammadiyah.
Seorang pimpinan organisasi harus mampu
berpikir secara analitikal dan konseptual, mampu menjadi penengah bilamana
terjadi perselisihan di internal organisasi, serta mampu membuat
keputusan-keputusan sulit.
Di era reformasi dan alam demokrasi
seperti sekarang ini, seorang pimpinan tertinggi organisasi juga merupakan
diplomat dan politisi, karena mereka sewaktu-waktu mewakili secara resmi
organisasi yang dipimpinnya pada pertemuan-pertemuan keorganisasian, bahkan
tidak jarang mewakili sejumlah organisasi sejenis pada level yang lebih tinggi,
misalnya mewakili organisasi keagamaan Indonesia pada pertemuan internasional.
Para pimpinan organisasi juga harus mampu
membangun komunikasi yang baik, serta membentuk aliansi-aliansi atau
koalisi-koalisi bila diperlukan demi mencapai tujuan organisasi, dan itu adalah
kerja politik.
Maka kalau Din Syamsuddin, Syafii Maarif,
dan Amien Rais (yang kebetulan ketiganya adalah profesor) banyak melakukan
kerja-kerja politik, itu hanya sebuah konsekuensi dari tugas berat yang
diembannya sebagai ketua umum Muhammadiyah.
Amien Rais yang dijuluki tokoh reformasi
(bersama sejumlah kalangan) bahkan mendirikan partai politik (Partai Amanat
Nasional) dan kemudian terpilih menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) RI, demi membesarkan organisasi yang dipimpinnya.
Selain demi mencapai tujuan organisasi,
ketiga tokoh tersebut juga pasti sadar sesadar-sadarnya bahwa Muhammadiyah
tidak mungkin dipisahkan dari politik, karena kader dan simpatisan
Muhammadiyah, sebagaimana manusia pada umumnya, adalah makhluk politik.
Din Syamsuddin, Syafii Maarif, dan Amien
Rais juga tahu bahwa Muhammadiyah didirikan untuk menjawab tantangan dan
dinamika dakwah dan sosial politik. Jika aspirasi politik kader dan simpatisan
Muhammadiyah tidak tersalurkan secara baik pada jalur sistem komunikasi politik
yang konvensional (sebagaimana diatur dalam Undang-undang) justru dapat
membahayakan sistem politik Indonesia secara keseluruhan.
Dengan demikian, interrelasi atau
keterlibatan Muhammadiyah dengan dinamika politik adalah sebuah keharusan.
Masalahnya kemudian adalah seberapa jauh dan bagaimana sebaiknya bentuk
keterlibatan itu?
Bagaimana sebaiknya hubungan Muhammadiyah
dengan partai politik? Apakah Muhammadiyah harus mendirikan parpol? Apakah
Muhammadiyah perlu mendukung salah satu parpol? Apakah Muhammadiyah tidak
sebaiknya menjaga jarak yang sama dengan semua parpol?
Tergantung Sikon
Kemampuan bertahan hidup selama hampir
satu abad (didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1 November 1912 Masehi / 8
Dzulhijjah 1330 Hijriyah) dan kebesaran Muhammadiyah, tidak terlepas dari
kemampuan personal para ketua umumnya dalam melakukan komunikasi politik secara
langsung maupun secara tidak langsung.
Dalam ilmu komunikasi disebutkan bahwa
komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan
pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan,
pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami
sebagai komunikasi antara "yang memerintah" dan "yang
diperintah."
Ketua umum Muhammadiyah bisa disebut aktor
politik, karena mereka pasti melakukan kerja-kerja politik dan melakukan
komunikasi politik dengan berbagai elemen, terutama dengan pemerintah
(eksekutif) dan legislatif.
Melihat kiprah dan perjalanan panjang
Muhammadiyah di pentas politik dan pemerintahan, maka sesungguhnya Muhammadiyah
memiliki gaya yang `'unik'' dalam melakukan komunikasi politik, yang diperankan
oleh ketua umumnya sejak berdiri sampai sekarang.
Seorang ketua umum organisasi sebagai
pemimpin memiliki wewenang dan kekuasaan untuk bisa melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan wewenang itulah ketua umum organisasi akan membimbing,
menggerakkan, dan mengarahkan mereka yang dipimpinnya menuju tujuan bersama.
Cara menggunakan wewenang dapat berbeda-beda dari satu pemimpin ke pemimpin
yang lain. Perbedaan cara penggunaan wewenang ini dapat menciptakan gaya
kepemimpinan dan gaya komunikasi yang berbeda-beda.
Gaya Unik
Gaya kepemimpinan dan gaya komunikasi
politik para ketua umum Muhammadiyah saya sebut unik, karena selalu terpengaruh
oleh situasi dan kondisi, serta banyak dipengaruhi oleh latar belakang pribadi
masing-masing ketua umumnya. Inilah gaya komunikasi politik ala Muhammadiyah.
KH Ahmad Dahlan (1912-1923), KH Ibrahim
(1923-1932), dan KH Hisyam (1932-1936) adalah kiyai dan ulama tulen, sehingga
gaya kepemimpinan dan gaya komunikasi politik mereka sangat santun, serta
cenderung memilih `'bekerja-sama'' dan `'mengalah untuk menang.''
KH Mas Mansur (1936-1942) dan Ki Bagoes
Hadikoesoemo (1942-1953) secara cerdas memainkan peran komunikasi politik dalam
upaya memerdekakan Indonesia dari penjajahan. KH Mas Mansur termasuk dalam
empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan
empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas
Mansur.
Ki Bagoes Hadikoesoemo kemudian
menggantikan kedudukan KH Mas Mansur sebagai empat serangkai bersama Soekarno,
Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Ki Bagoes termasuk dalam anggota Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau (PPKI).
Buya AR Sutan Masur (1953-1959) yang
pernah menjadi pengurus Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dan
juga pernah diangkat sebagai Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan
DPRD) oleh pemerintah kolonial Jepang, tidak terlalu banyak melakukan
komunikasi politik dengan pemerintahan Soekarno, karena ia membenci Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan tidak senang dengan kediktatoran Soekarno.
KH M Yunus Anis (1959-1962) terpilih
sebagai ketua umum Muhammadiyah ketika Masyumi dibubarkan yang membawa
implikasi buruk terhadap umat Islam, karena umat Islam nyaris tidak terwakili
di parlemen saat itu (DPRGR).
Dalam kondisi seperti itu, beliau kemudian
menerima permintaan beberapa orang untuk menjadi anggota DPRGR demi untuk
kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili umat Islam yang nyaris tidak
terwakili dalam parlemen saat itu.
KH Ahmad Badawi (1962-1968) 'menerima
warisan situasi dan kondisi yang kurang bagus pascapembubaran Masyumi, serta di
saat Muhammadiyah berhadapan dengan kuatnya tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu,
Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis,
serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. KH Ahmad Badawi kemudian dekat
dengan Presiden Soekarno dan diangkat menjadi menjadi Penasehat Pribadi
Presiden di bidang agama.
KH Faqih Usman (1968-1971) hanya beberapa
hari menjabat Ketua Umum Muhammadiyah sebelum beliau meninggal dunia pada 3
Oktober 1968.
KH AR Fakhruddin (1971-1990) membuat
Muhammadiyah menjadi teduh dan di tangannya Islam terasa sangat mudah dan
toleran. Beliau secara halus dan sopan tidak menerima setiap ditawari menjadi
anggota DPR RI atau jabatan lainnya di pemerintahan Orde Baru.
Prof Dr KH Ahmad Azhar Basyir (1990-1995)
hanya beberapa tahun memimpin Muhammadiyah karena meninggal dunia, sehingga
tidak banyak yang bisa dibahas mengenai gaya kepemimpinannya, kecuali bahwa
beliau seorang akademisi dan sekaligus ulama.
Prof Dr HM Amien Rais (1995-2000) memimpin
Muhammadiyah di saat masyarakat menghendaki adanya perubahan besar pada
pemerintahan. Isu reformasi atau pergantian pemerintahan yang diusung Amien
Rais bersama mahasiswa dan hampir seluruh elemen masyarakat, akhirnya berhasil
memaksa Soerhato meletakkan jabatan yang sekaligus menandai berakhirnya rezim
pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun.
Prof Dr H Ahmad Syafi'i Ma'arif
(2000-2005) dan Prof Dr Din Syamsuddin (2005-2010) sebagaimana ditulis pada
bagian awal tulisan ini banyak melakukan kerja-kerja politik selama memimpin
Muhammadiyah.
Terlepas dari keunikan gaya komunikasi
politik Muhammadiyah, demi menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah dan
berbagai elemen masyarakat, demi nama dan citra yang baik, Muhammadiyah bersama
ketua umumnya sebaiknya tidak lagi terlibat dalam dukung mendukung calon
presiden.
Muhammadiyah dan
ketua umumnya juga sebaiknya menjaga jarak yang sama dengan semua parpol.
Janganlah ada parpol yang seolah-olah diistimewakan. Janganlah lagi merestui
pendirian parpol baru yang memakai simbol-simbol Muhammadiyah.***
......
Opini ini dimuat Harian TRIBUN TIMUR, Makassar, http://www.tribun-timur.com/read/artikel/98999/Komunikasi-Politik-Ala-Muhammadiyah, Selasa, 27 April 2010

Tidak ada komentar:
Posting Komentar